FIKIH 4 MAZHAB

FIKIH 4 MAZHAB

Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari beberapa rukun agama. Kewajiban melaksanakannya tidak membutuhkan dalil, dan orang yang mengingkarinya berarti telah keluar dari islam, karena ia seperti shalat, yaitu ditetapkan itu diketahui, baik oleh yang bodoh maupun yang anak-anak.

Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun kedua Hijriyah. Puasa merupakan fardhu ‘ain’ bagi setiap mukallaf, dan tak seorang pun dibolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab seperti berikut:
Haid dan Nifas: para ulama sepakat, bahwa bila seorang wanita haid atau nifas, puasanya tidak sah.
Sakit: Dalam hal ini ulama mazhab berbeda pendapat:
Imamiyah: seorang yang ditimpa suatu penyakit tidak boleh berpuasa, begitu pula jika akan mengakibatkan penyakitnya bertambah parah, atau akan memperlambat kesembuhan, karena sakit itu berbahaya, dan yang membahayakan diharamkan. Melakukan ibadah itu dilarang bila menimbulkan bahaya bagi dirinya, dan bila terpaksa berpuasa dalam keadaan sakit, maka puasanya tidak sah. Untuk mengetahui apakah ia (orang yang berpuasa) itu sakit, atau penyakitnya akan bertambah, cukup beginya mempergunakan perkiraan sendiri.
Kalau dirinya sangat lemah, bukan menjadi sebab dibolehkannya berbuka, selama kelemahan itu sudah biasa dirinya, karena yang menjadi sebab diharuskannya (kewajiban) berbuka adalah sakit itu sendiri, bukan kelemahan, keletihan dan kelelahan. Bagaimana beban itu harus ditanggung, sedangkan di dalamnya mengandung kesukaran?
Empat mazhab: kalau orang yang berpuasa itu sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu akan menambah penyakitnya, atau memperlambat kesembuhannya, maka bila suka, berpuasalah, dan bila tidak, berbukalah, tetapi tidak ada ketentuan (keharusan) berbuka baginya, karena berbuka itu merupakan rukhshah (keringanan) , bukan keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi kalau menurut perkiraannya sendiri bahwa dengan berpuasa itu akan menimbulkan bahaya, atau akan membahayakan salah satu anggota inderanya (tubuhnya) , maka dia harus berbuka, dan bila terus berpuasa, puasanya tidak sah.
Wanita hamil yang hamper melahirkan, dan wanita yang sedang menyusui.
Empat Mazhab: kalau wanita yang menyusui atau yang hamil khawatir pada dirinya atau pada anaknya, maka sah puasanya, namun boleh baginya untuk berbuka. Tetapi bila dia berbuka, maka dia harus meng-qadha’ (menggantinya). Begitulah ketetapan mereka secara sepakat. Namun dalam persoalan fidyah (kifarah) mereka berpendapat. Hanafi: Tidak diwajibkan secara mutlak.
Maliki: Hanya diwajibkan bagi wanita yang menyusui, bukan yang hamil. Hambali dan Syafi’i: setiap wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah, bila hanya khawatir bagi anaknya saja, tetapi bila khawatir terhadap dirinya dan anaknya secara bersamaan, maka dia harus meng-qadha (menggantinya), tanpa membayar fidyah. Membayar fidyah adalah mengeluarkan satu mud (sama dengan 800 gram gandum atau sejenisnya) setiap hari, dan setiap mud diberikannya kepada satu orang miskin.
Imamiyah: Kalau wanita hamil yang kelahirannya sudah dekat dan membahayakan anak yang sedang disusuinya, maka dia harus beebuka dan tidak boleh berpuasa, karena yang membahayakan itu diharamkan. Mereka bersepakat bahwa bagi wanita yang khawatir membahayakan anaknya harus meng-qadha’ (menggantinya) dan membayar fidyah satu mud. Tetapi kalau khawatir membahayakan dirinya, mereka berbeda pendapat, sebagian harus meng-qadha’ (menggantinya) dan tidak usah membayar fidyah: dan yang lain harus meng-qadha dan membayar fidyah.
Perjalanan yang sesuai dengan syarat-syarat yang dibolehkan melakukan shalat qashar, seperti yang telah dibicarakan oleh setiap mazhab, tetapi empat mazhab menambahkan satu syarat lagi, yaitu: perjalanan itu harusnberangkat sebelum terbitnya fajar, sampai menempuh jarak dibolehkannya melakukan shalat qashar. Namun bila perjalanan itu berangkat setelah terbitnya fajar, maka diharamkan untuk berbuka. Dan kalau berbuka, maka ia harus meng-qadha (menggantinya) tapi tidak perlu membayar kifarah. Syafi’i menambah satu syarat lagi, yaitu: Bukan seorang musafir yang sudah biasa melakukan perjalanan, seperti seorang yang mencari penyewa. Kalau bagi orang yang kerjanya memang selalu mengadakan perjalanan, ia tidak mempunyai hak untuk berbuka. Berbuka dalam perjalanan menurut mereka adalah rukhshah (keringanan) , bukan keharusan. Maka bagi seorang musafir juga memenuhi syarat-syarat tersebut, ia berhak memilih. Kalau suka, boleh berpuasa, dan kalau tidak, boleh buka. Hanya kita harus mengetahui bahwa Hanafi mempunyai pendapat lain, yaitu: Bahwa shalat qashar dalam perjalan itu merupakan suatu keharusan bukan merupakan rukhashah.
Imamiyah: kalau seorang musafir yang sudah memenuhi syarat-syarat melakukan shalat qashar, lalu ia berpuasa, maka puasanya tidak diterima, dan kalau berpuasa itu harus meng-qadha’, tapi tidak perlu membayar kifarah. Ketetapan ini berlaku, kalau perjalanan itu berangkat sebelum matahari tergelincir (condong ke Barat) , tetapi kalau berangkat waktu zawal (matahari tergelincir) atau sesudahnya, maka dia harus tetap berpuasa, dan kalau berbuka, dia harus membayar kifarah, seperti seorang yang sengaja membuka. Bila seorang musafir telah sampai ke daerahnya atau ke tempat tinggalnya yang akan ditempatinya selama sepuluh hari sebelum zawal, dan tidak melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya, maka ia wajib meneruskan puasanya, dan bila berbuka, maka hukumnya seperti seorang yang berbuka dengan sengaja, yaitu membayar kifarah.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa bagi orang yang mempunyai penyakit sangat kehausan boleh berbuka, dan kalau ia kuat meng-qadha’-nya (menggantinya) dikemudian hari, maka ia wajib menggantinya, tetapi tidak perlu membayar fidyah, menurut empat mazhab, tetapi bagi Imamiyah wajib membayar kifarah satu mud.
Kalau sangat lapar mereka berbeda pendapat, apakah ia termasuk salah satu yang diperbolehkan berbuka, seperti rasa haus? Empat mazhab: lapar dan haus itu sama saja, semuanya sama-sama dapat membolehkan berbuka. Immamiyah: kelaparan itu tidak membolehkan berbuka, kecuali kalau dapat mendatangkan penyakit atau menyebabkan jatuh sakit.
Orang tua renta, baik lelaki maupun wanita, yang mendapatkan kesulitan dan kesukaran, serta tidak kuat lagi berpuasa, dia mendapat rukhashah (keringanan) untuk berbuka, hanya harus membayar fidyah setiap hari dengan memberikan makanan pada orang miskin. Begitu juga orang sakit yang tidak ada harapan sembuh sepanjang tahun. Hukum ini disepakati oleh semua mazhab, kecuali Hambali, ia berpendapat, bahwa bagi orang tua renta dan bagi orang sakit tersebut, hanya disunnahkan untuk membayar fidyah, tidak diwajibkan.
Immamiyah: orang yang pingsan, tidak diwajibkan berpuasa, sekalipun ia memperoleh (mengetahui) sebagian dari siang, kecuali kalau ia telah berniat berpuasa sebelum pingsan, kemudian sadar, maka harus tetap menahan (makan dan minum serta hal-hal lain yang membatalkan puasa).

Hilangnya Udzur
Kalau udzur yang membolehkan berbuka itu hilang, seperti orang sakit yang telah sembuh, anak kecil yang sudah baligh, seorang musafir yang telah selesai menempuh perjalanannya, atau wanita haid yang sudah suci, maka semuanya itu disunnahkan untuk menahan diri, untuk menghormati etika pergaulan, menurut Immamiyah dan Syafi’i tetapi menurut Hanafi dan Hambali adalah wajib. Tetapi menurut Maliki tidak wajib dan tidak pula disunnahkan.

Syarat-syarat puasa
Kita telah menjelaskan diatas, bahwa puasa ramadhan itu wajib ‘ain bagi setiap mukallaf. Dan yang dinamakan mukallaf itu adalah orang yang sudah baligh dan berakal.  Maka puasa tidak diwajibkan bagi orang gila ketika sedang gila, dan kalau dia berpuasa puasanya tidak sah. Anak kecil tidak diwajibkan untuk berpuasa, tetapi puasanya tetap sah, kalau dia sudah mumayiz dan tidak boleh tidak, bahwa syarat sahnya puasa adalah beragama islam dan disertai niat, sebagai mana dalam ibadah-ibadah lainnya. Maka bagi mereka yang bukan islam , puasanya tidak diterima, begitu juga kalau menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasanya tanpa niat, menurut kesepakatan semua mazhab. Ini ditambah (dengan syarat-syarat lain) yaitu suci dari haid, nifas, tidak sakit dan tidak dalam perjalanan, sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka.
Bagi orang yang mabuk dan pingsan, menurut Syafi’i: kalau perasaan orang yang mabuk dan pingsan tersebut hilang sepanjang waktu berpuasa, maka pusanya tidah sah, tetapi kalau hanya sebagian waktu saja, maka puasanya sah, namun bagi orang yang pingsan, wajib meng-qadha’ (menggantinya) secara mutlak, baik pingsannya itu disebabkan oleh dirinya, ataupun karena dipaksa. Tetapi bagi orang yang mabuk, tidak wajib meng-qadha’nya kecuali kalau mabuknya itu disebabkan oleh dirinya secara khusus
Maliki: orang yang mabuk dan pingsan mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari, atau tidak sadar dari sebagian besar waktunya berpuasa, maka puasanya tidak sah. Tetapi kalau tidak sadar hanya setengah hari, atau lebih sedikit dan mereka sadar pada waktu niat, dan berniat, kemudian jatuh mabuk dan pingsan, maka mereka tidak diwajibkan meng-qadha’nya. Waktu niat puasa menurut maliki adalah dari maghrib sampai fajar.
Hanafi: orang yang pingsan adalah seperti orang gila, dan orang gila hukumnya: kalau gilanya itu selama satu bulan Ramadhan penuh, maka dia tidak diwajibkan meng-qadha’nya. Tetapi kalau gilanya itu hanya setengah bulan, dan setengah bulan akhirnya ia sadar, maka dia tetap harus berpuasa, dan wajib meng-qadha’nya (menggantinya) hari-hari yang ditinggalkannya pada waktu gila.
Hambali: bagi orang yang mabuk dan pingsan wajib meng-qadha’nya (menggantinya), baik karena perbuatan dirinya atau karena dipaksa.
Immamiyah: Hanya bagi orang yang mabuk saja yang wajib meng-qadha’nya, baik karena perbuatan sendiri atau tidak, tetapi bagi orang pingsan, tidak diwajibkan meng-qadha’nya, sekalipun pingsannya itu sebentar.

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN PUASA
Yang membatalkan puasa adalah beberapa perkara yang wajib ditahankannya, dari terbitnya fajar sampai Maghrib, yaitu:
Makan dan Minum dengan sengaja, karena keduanya dapat membatalkan puasa. Dan bagi orang yang makan dan minum dengan sengaja wajib meng-qadha’nya, menurut semua ulama mazhab. Tetapi mereka berbeda dalam menetapkan wajibnya membayar kifarah.
Immamiyah dan Hanafi: Mewajibkan bayar kifarah. Syafi’i dan Hambali: tidak mewajibkan. Tetapi bagi orang yang makan dan minum dengan lupa, maka tidak harus meng-qadha’nya dan tidak pula membayar kifarah, hanya maliki tetap mewajibkan meng-qadha’nya saja. (Merokok, yang biasa dihisap manusia adalah termasuk dalam pengertian minum).
Bersetubuh dengan sengaja. Ia membatalkan puasa dan bagi yang melakukan persetubuhan, wajib meng-qadha’nya dan bayar kifarah, menurut semua ulama mazhab.
Membayar kifarah adalah memerdekakan budak, dan bila tidak mendapatkannya, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin. Kifarah itu boleh dipilih, menurut Imamiyah dan Maliki. Maksudnya seorang mukallaf diperbolehkan untuk memilih salah satu dari : Memerdekakan budak, puasa, atau memberi makan. Tetapi menurut Syafi’i dan Hambali serta Hanafi: Harus secara tertib. Maksudnya, pertama harus memerdekakan budak, bila tidak mampu hendaklah berpuasa, bila tidak mampu juga hendaklah memberi makan.
Imamiyah: Wajib menghimpun kifarah-nya yaitu memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, dan memberi makan kepada enam puluh orang miskin, jika dia berbuka puasa karena melakukan hal-hal yang haram. Sebagaimana kalau dia (orang yang berpuasa itu) makan sesuatu yang dimurkai Tuhan, atau minum minuman keras atau berzina. Tetapi kalau melakukan persetubuhan dengan lupa, maka puasanya tidak batal, menurut Hanafi, Syafi’I dan Imamiyah. Namun menurut Hambali dan Maliki tetap membatalkan.
Istimna’ yaitu mengeluarkan mani. Ia merusak puasa menurut ulama mazhab secara sepakat, bila dilakukan dengan sengaja, bahkan keluar madzipun dapat merusak puasa, menurut Hambali. Maksudnya adalah madzi yang keluar karena disebabkan melihat sesuatu yang dapat membangkitkan gairah seks, atau sejenisnya bila dilakukan berulang-ulang.
Empat mazhab: kalau hanya keluar mani wajib meng-qadha’nya saja, tanpa membayar kifarah. Imamiyah: wajib meng-qadha’nya dan bayar kifarah sekaligus.
Muntah dengan sengaja, dapat merusak puasa. Dan menurut Imamiyah,  Syafi’i dan Maliki: wajib meng-qadha’nya. Tetapi menurut Hanafi: orang yang muntah tidak membatalkan puasa, kecuali kalau muntahnya itu memenuhi mulut. Hambali ada dua riwayat, mereka sepakat bahwa muntah dengan terpaksa tidak membatalkan puasa.
Disuntik dengan yang cair. Ia dapat membatalkan (merusak) puasa. Dan bagian yang disuntik, wajib meng-qadha’ (menggantinya), begitulah menurut ulama mazhab secara sepakat. Namun kifarah, kalau dia (yang disuntik) tidak betul-betul dalam keadaan kritis (membahayakan).
Memutuskan (membatalkan) niat puasa. Kalau orang yang berpuasa berniat untuk berbuka, kemudian dia berbekam (bercanduk), maka puasanya batal, menurut Imamiyah, Hambali, tetapi menurut mazhab-mazhab yang lain tidak batal.

ZAKAT
Zakat itu dibagi kedalam dua bagian, yaitu: zakat harta benda dan zakat badan. Ulama mazhab sepakat bahwa tidak syah mengeluarkan zakat kecuali dengan niat. Adapun syarat-syarat wajibnya, seperti berikut:
Syarat-Syarat Zakat Harta Benda
Hanafi dan Imamiyah: berakal dan baligh merupakan syarat diwajibkannya mengeluarkan zakat. Maka harta orang gila dan harta anak-anak tidak wajib dizakati.
Maliki, Hambali dan Syafi’i: berakal dan baligh tidak menjadi syarat. Maka dari itu, harta orang gila dan harta anak-anak wajib dizakati, walinya harus mengeluarkannya.
Hanafi, syafi’i dan Hambali: zakat tidak diwajibkan pada nonmuslim. (Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzhab Al-Arba’ah).
Imamiyah dan Maliki: Bagi non-muslim juga diwajibkan, sebagaimana diwajibkannya kepada orang muslim, taka da bedanya.
Syarat diwajibkannya zakat adalah “milik penuh”. Setiap mazhab membahas secara panjang lebar tentang definisi “milik penuh” itu. Kesimpulan dari semua definisi yang diungkapkan para ulama mazhab adalah: orang yang mempunyai harta itu menguasai sepenuhnya terhadap harta bendanya, dan dapat mengeluarkannya dengan sekehendaknya. maka harta yang hilang, tidak wajib dizakati, juga harta yang dirampas (dibajak) dari pemiliknya, sekalipun tetap menjadi miliknya.
Cukup satu tahun berdasarkan hitungan tahun qamariyah untuk selain biji-bijian, buah-buahan dan barang-barang tambang.
Sampai kepada nisab (ketentuan wajib zakat). Setiap harta yang wajib dizakati jumlah yang harus dikeluarkan berbeda-beda.


Zakat Emas Dan Perak
Ulama Fiqih berpendapat emas dan perak wajib dizakati jika cukup nishab-nya. Menurut pendapat mereka, nishab emas adalah dua puluh (20) mithqal. Nishab perak adalah dua ratus dirham. Mereka juga memberi syarat, yaitu berlalunya waktu satu tahun dalam keadaan nishab, juga jumlahnya yang wajib dikeluarkan ialah dua setengah persen (2,5%).
Imamiyah: wajib zakat pada emas dan perak jika berada dalam bentuk uang, dan tidak wajib dizakati jika dalam bentuk batangan, begitu juga dalam bentuk uang. Dan tidak wajib dizakati jika berbentuk batangan dan perhiasan.
Empat mazhab: emas dan perak wajib dizakati jika dalam bentuk batangan, begitu juga dalam bentuk uang. Mereka berbeda pendapat mengenai emas dan perak dalam bentuk perhiasan. Sebagian mewajibkan zakat, sebagian yang lain tidak mewajibkannya.
Mengenai uang, Imamiyah mewajibkan satu perlima atau dua puluh persen (20%) dari sisa belanja satu tahun, bagian ini akan diuraikan kemudian. Syafi’i, Maliki dan Hanafi: uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali telah dienuhi semua syarat, antara lain yaitu telah sampai nishab-nya dan telah cukup berlalunya waktu satu tahun.
Hambali; uang kertas tidak wajib dizakati, kecuali jika ditukar dalam bentuk emas atau perak.

ZAKAT TANAMAN DAN BUAH-BUAHAN
Semua ulama mazhab sepakat bahwa jumlah (kadar) yang wajib dikeluarkan dalam zakat tanaman dan buah buahan adalah seper sepuluh atau sepuluh persen (10%), kalau tanaman dan buah-buahan tersebut disiram air hujan atau air dari aliran sungai. Tapi jika air yang dipergunakannya dengan air irigasi (dengan membayar) dan sejenisnya, maka cukup mengeluarkan lima persen (5%).
Ulama mazhab sepakat, selain Hanafi bahwa Nishab tanaman dan buah-buahan adalah lima ausuq. Satu ausuq sama dengan enam puluh gantang, yang jumlahnya kira-kira mecapai Sembilan ratus sepuluh gram. Satu kilo sama dengan seribu gram. Maka bila tidak mencapai target tersebut, tidak wajib dizakati. Namun Hanafi berpendapat: Banyak maupun sedikit wajib dizakati secara sama.
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang tanaman dan buah-buahan dan tanaman yang keluar dari bumi wajib dizakati. Hanafi: semua buah-buahan dan tanaman yang keluar dari bumi wajib dizakati, kecuali kayu, rumput dan tebu persi. Maliki dan Syafi’i: setiap tanaman dan buah-buahan yang disimpan untuk kepentingan belanja wajib dizakati, seperti gandum,beras, kurma dan anggur.
Hambali: semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan yang disimpan wajib dizakati.
Imamiyah: biji-bijian yang wajib dizakati hanya gandum. Dan buah-buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur. Selain yang disebutkan diatas, tidak wajib dizakati, tetapi sunnah untuk dizakatinya.
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Para ulama mazmab sependapat bahwa golongan yang berhak menerima zakat itu ada delapan dan semuanya sudah disebutkan dalam surat al-taubah ayat 60, seperti berikut:
“Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang mempunyai hutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan.”
Namun kalau tentang definisi golongan atau kelompok tersebut, semua ulama mazhab mempunyai pendapat yang berbeda, seperti keterangan berikut:
Orang kafir
Hanafi: orang fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari nishab, sekalipun dia sehat dan mempunyai harta sampai nishab pekerjaan. Adapun orang yang mempunyai harta sampai nishab apa pun bentuknya yang dapat memenuhi kebutuhan primer, berupa tempat tinggal (rumah), alat-alat rumah, dan pakaian, maka orang yang memiliki harta seperti itu atau lebih, tidak boleh diberikan zakat. Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nishab, maka ia wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak wajib menerima zakat.
Syafi’i dan Hambali: orang yang mempunyai separuh dari kebutuhannya, ia tidak bisa digolongkan kedalam golongan orang fakir, dan ia tidak boleh menerima zakat.
Maliki: orang fakir menurut syara’ adalah orang yang tidak mempunyai bekal untuk berbelanja selama satu tahun dan juga tidak mempunyai bekal untuk menghidupi keluarganya. Orang yang mempunyai rumah dan peralatannya atau  maka ia boleh diberi zakat.
Hanafi: orang yang mampu bekerja tidak boleh menerima zakat, tetapi ia dibolehkan untuk menerima, tapi juga boleh untuk menolaknya.
Orang miskin
Hanafi dan Maliki: orang miskin adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari orang kafir.
Hambali dan Syafi’i: orang fakir adalah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari pada orang miskin, karena yang dinamakan fakir adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu, atau orang yang tidak mempunyai separuh dari kebutuhannya, sedangkan orang miskin ialah orang yang memiliki separuh dari kebutuhannya. Maka yang separuh lagi dipenuhi dengan zakat.
Riqab adalah orang yang membeli budak dari harta zakatnya untuk memerdekakannya. Dalam hal ini banyak dalil yang cukup dan sangat jelas bahwa Islam telah menempuh berbagai jalan dalam rangka menghapus perbudakan. Hukum ini sudah tidak berlaku, karena perbudakan telah tiada.
Al-Gharimun: orang-orang yang mempunyai hutang yang dipergunakan untuk perbuatan yang bukan maksiat. Dan zakat diberikan agar mereka dapat membayar hutang mereka, menurut kesepakatan para ulama mazhab.


SHALAT
Shalat itu dibagi pada yang wajib dan yang sunnah. Shalat yang paling penting adalah shalat lima waktu yang wajib dilakukan setiap hari. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban ini atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan Syahadat, karena shalat termasuk salah satu rukun islam. Kewajiban menegakkan shalat berdasarkan ketetapan agama, dan tidak mempunyai tempat untuk dianalisa serta ijtihad dalam masalah ini, dan tidak pula taqlid.
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hokum orang yang meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib.
Syafi’i, Maliki dan Hambali: Harus dibunuh. Hanafi: Ia harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat.

FARDHU-FARDHU SHALAT DAN RUKUN-RUKUNNYA
Sahnya shalat itu meliputi: Harus suci dari hadas dan kotoran,masuk waktu, menghadap Kiblat, dan harus memakai pakaian penutup aurat. Hal-hal di atas harus dipenuhi semuanya sebelum melaksanakan shalat, dan hal-hal itu dinamakan syarat, serta pembahasan masalah tersebut telah dijelaskan secara rinci sebelumnya. Shalat itu juga terdiri dari beberapa fardhu dan beberapa rukun yang harus dilaksanakan langsung ketika shalat. Rukun-rukun dan fardhu-fardhu itu sangat banyak, yaitu:
Niat
Ulama mazhab berbeda pendapat, bahkan para ahli fiqih dalam satu mazhab juga berbeda antara yang satu dengan yang lain, yaitu tentang apakah orang yang shalat itu wajib berniat, apakah ia wajib menyatakan, yang mana ia berniat-misalnya shalat Dzuhur atau shalat Ashar, shalat fardhu atau sunnah, shalat sempurna atau shalat qashar (pendek), dan shalat ada’an atau shalat qadha’ .
Takbiratul ihram
Shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama tak biratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“ kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
Semua ulama mazhab sepakat: syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat, seperti suci dari hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar, menghadap kiblat, menutup aurat dan seterusnya. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri: dan dalam mengucapkan kata “Allahu Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli. Juga harus mendahulukan lafdzul jalalah “Allah” dari pada kata “Akbar”, dan kalau dibalik menjadi “Akbar Allah”, tidak diperbolehkan.
Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu duduk, ia harus shalat miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal diliang lahat, menghadapi kiblat dihadapan badannya.
Mengucap salam
Syafi’I, Maliki dan Hambali: mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi: tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, Halaman 126).


SHALAT BERJAMA’AH
Seluruh kaum Muslimin telah sepakat bahwa shalat berjama’ah itu termasuk salah satu syiar agama Islam. Ia telah dikerjakan oleh Rasullulah SAW secara rutin, dan diikuti oleh para Khalifah sesudahnya.
Hambali mengatakan: shalat berjama’ah itu hukumnya wajib atas setiap individu yang mampu melaksanakannya. Tetapi kalau ditinggalkan dan ia shalat sendiri, maka ia berdosa, sedangkan shalatnya tetap sah.
Hanafi dan sebagian besar ulama Syafi’i mengatakan: hukumnya tidak wajib, baik fardhu ‘ain atau kifayah, tetapi hanya disunnahkan dengan sunnah muakkadah.

Syarat-syarat Shalat Berjama’ah
Islam, menurut kesepakatan ulama.
Berakal, menurut kesepakatan ulama.
Laki-laki, wanita tidak sah menjadi Imam untuk Laki-Laki, dan sah apabila mengimami sesame kaum wanita, demikian menurut pendapat seluruh mazhab selain mazha Maliki. Mereka mengatakan: Wanita tidak sah menjadi Imam walaupun untuk mengimami sesamanya.
Baligh, ini merupakan syarat pada mazhab Maliki, Hanafi dan Hambali. Sedangkan Syafi’i mengatakan: sah, dengan anak yang mumayiz (dapat membedakan baik dan buruk).


HAL-HAL YANG MEMBATALKAN SHALAT
Menurut MAZHAB SYAFI’I
Karena hadas yang mewajibkan wudhu atau mandi.
Sengaja berbicara.
Menangis.
Merintih dalam sebagian keadaan.
Banyak bergerak.
Ragu-ragu dalam niat.
Terbuka aurat, sedangkan ia mampu menutupnya.
Meninggalakan rukun dengan sengaja.
Menambah rukun dengan sengaja.
Berpaling dari kiblat dengan dadanya.
Menurut MAZHAB MALIKI
Meniup dengan mulut dengan sengaja.
Muntah dengan sengaja.
Terkena najis.
Banyak bergerak.
Sujud sebelum salam.
Terbuka aurat atau sesuatu darinya.
Menurut MAZHAB HAMBALI
Banyak bergerak.
Membelakangi kiblat.
Berdehem tanpa alasan.
Sengaja membuka aurat.
Menambahkan rukun dengan sengaja.
Makan minum karena lupa atau tidak tahu.
Menangis bukan karena takut kepada Allah.

Menurut MAZHAB HANAFI
Menggerutu.
Membaca doa yang mirip dengan ucapan manusia.
Memalingkan dari pada kiblat.
Banyak bergerak.
Merintih
Mengaduh.
Menangis dengan suara keras.
Jatuhnya pembalut luka yang belum sembuh.


DAFTAR PUSTAKA
Mughniyah, Muhammad jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.

Comments

Popular Posts