KETIKA HIJAB BUKAN SEKEDAR KEWAJIBAN APALAGI FASHION
Istilah “Hijab” telah mengalami metamorfosis. Dari konotasi tabir (penutup), bahkan purdah, istilah “Hijab” kini populer digunakan dengan konotasi pakaian Muslimah yang menutup aurat. Maka, ada istilah “Hijabers” untuk komunitas pemakai “Hijab”. Karena model dan bentuknya beragam, maka ada lagi istilah, “Hijab Syar’i”. Dengan konotasi pakaian Muslimah yang memenuhi kriteria syara’.
Bagi kaum hawa, seluruh tubuh wanita adalah aurat. Bahkan Nabi saw. menyatakan:
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ [رواه الترميذي وصححه الألباني]
“Wanita itu aurat. Ketika dia keluar (dari rumahnya), maka syaitan pun mengagungkannya.” (Hr. At-Tirmidzi)
Nabi menyebutnya dengan “aurat”, karena wanita merupakan kehormatan (kemuliaan) yang harus dijaga. Jika ia dilepas keluar, maka ia akan digunakan syaitan sebagai perangkapnya untuk memerangkap lawan jenisnya. Pandangan mata dan syahwat tertuju kepadanya.
Begitu luar biasa Islam menempatkan kaum perempuan. Ia ditempatkan pada kedudukan yang terhormat, dan betul-betul dimuliakan. Sampai-sampai ketika seseorang terbunuh, karena membela kehormatannya pun dinyatakan syahid. Nabi bersabda:
مَنْ قُتِلَ دُوْنَ عَرَضِهِ فَهُوَ شَهِيْدٌ [رواه الترميذي]
“Siapa saja yang terbunuh, karena membela kehormatannya, maka dia mati syahid.” (Hr. At-Tirmidzi)
Karena itu, Islam pun menggariskan, bahwa kehormatan tersebut harus dijaga dan dilindungi, baik oleh pemilik kehormatan itu sendiri, keluarga, masyarakat maupun negara. Islam kemudian mewajibkan kaum perempuan menutup auratnya, dari ujung rambut hingga kakinya. Kecuali, wajah dan kedua telapak tangannya. Menutup dengan kain yang memang layak menjadi penutup, yang bisa menutupi kulitnya dari pandangan lawan jenisnya.
Maka, ketika Asma’ binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi saw. dengan pakaian tipis, baginda saw. membuang pandangannya, lalu menasihati Asma’, “Wahai Asma’, jika wanita itu sudah haid (dewasa), maka tidak boleh nampak darinya, kecuali ini dan ini (sambil menunjuk ke wajah dan telapak tangan Nabi).” (Hr. Abu Dawud)
Sikap Nabi membuang pandangan membuktikan, bahwa menutup aurat bukan sekedar berpakaian, tetapi pakaian yang bisa menutupi warna kulit. Pakaian yang tidak tembus pandang. Jika tidak, maka meski berpakaian, tetapi aurat yang menjadi kehormatannya tetap saja bisa dilihat orang lain.
Islam tidak saja menjaga dan melindungi kehormatan wanita dengan mewajibkannya menutup seluruh auratnya, tetapi juga melarangnya untuk berpakain yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Meski, seluruh auratnya sudah tertutup. Itulah yang dinyatakan Allah:
وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأُوْلَى [سورة الأحزاب: 33]
“Dan hendaknya perempuan-perempuan itu tidak melakukan tabarruj sebagaimana tabarruj yang dilakukan orang-orang Jahiliyah dahulu.” (Q.s. al-Ahzab: 33)
Iya, “Tabarruj” itu menampilkan dandanan yang bisa menarik perhatian lawan jenis. Di zaman Jahiliyah, kaum perempuan memakai gelang kaki, ketika mereka berjalan sambil menjejakkan kakinya ke tanah hingga terdengar suara gelang kakinya. Tujuannya untuk menarik kaum pria. Maka, kaum pria yang ada di sekitarnya pun telinga dan matanya tertuju kepadanya. Begitulah, dahulu orang-orang Jahiliyah melakukan “tabarruj”.
Karena itu, Islam tidak saja melarang tabarruj, tetapi juga mewajibkan kaum perempuan menutup seluruh auratnya. Tidak hanya sampai di situ, Islam kemudian menyempurnakan perlindungannya terhadap kaum perempuan dengan mewajibkannya berjilbab. “Jilbab” adalah jubah. Allah berfirman:
ياَ أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ المُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ [سورة الأحزاب: 59]
“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, serta perempuan kaum Mukmin, agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.” (Q.s. al-Ahzab: 59)
Tidak hanya itu, Allah juga berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوْبِهِنَّ [سورة النور: 31]
“Hendaknya kaum perempuan itu mengulurkan kerudungnya hingga ke -dada mereka.” (Q.s. an-Nur: 31)
Jilbab, yang tak lain adalah jubah, untuk menutup tubuh wanita, dan himar, yang tak lain adalah kerudung untuk menutup bagian kepala wanita hingga dada, ditetapkan sebagai pakaian wajib kaum perempuan ketika berada di luar rumah. Semuanya itu untuk menjaga dan melindungi kehormatan kaum perempuan.
Begitulah Islam menempatkan wanita, sebagai kehormatan yang wajib dilindungi dan dijaga, bahkan dengan taruhan nyawa.
Lihatlah, bagaimana sikap Nabi saw., saat seorang wanita Muslimah, yang ujung jubahnya diikat orang Yahudi Bani Qainuqa’ di pasar Madinah, hingga saat wanita itu meninggalkan lapak Yahudi itu, dia pun terjatuh, jubahnya tersingkap, dan auratnya terlihat. Dampak dari peristiwa ini, Nabi saw. pun murka. Yahudi Bani Qainuqa’ pun akhirnya diperangi dan diusir dari Madinah.
Lihatlah, bagaimana Khalifah al-Mu’tashim, saat memenuhi jeritan wanita yang memanggil namanya, “Wahmu’tashimah!” (Wahai al-Mu’tashim, di manakah Engkau!). Khalifah agung itu pun mengerahkan tentaranya untuk menuntut kehormatan seorang wanita naas yang jilbabnya telah ditarik tentara Romawi.
Maka, 30,000 tentara Romawi tewas, dan lainnya menjadi sabaya (semacam tawanan). Benteng Amuriah yang angker itu pun berhasil ditaklukkan oleh Khalifah yang agung itu (Ibn Katsir, al-Bidayah, I/1601).
Begitulah Islam memandang kehormatan wanita. Apapun dipertaruhkan untuk menjaga dan melindunginya. Maka, ketika ada wanita yang mengumbar auratnya, dia tidak saja melawan perintah dan larangan Allah SWT, tetapi juga menjatuhkan martabat dan kehormatannya sendiri. Siapa saja yang melecehkannya, tidak saja melecehkan kehormatan wanita, tetapi telah melecehkan Dzat Sang Pentitah, Allah SWT.
Maka, berhijab bukan sekedar kewajiban, apalagi fashion. Tetapi lebih dari itu, ia merupakan kehormatan dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya. Begitulah cara Allah menjaga dan melindungi martabat dan kehormatan wanita.
Semoga Allah melindungi kita semua, anak-anak, isteri dan saudara Muslimah kita.
Comments
Post a Comment