APAKAH KEJAHILAN ADALAH UDZUR DALAM PENGKAFIRAN



Oleh: Syaikh DR.Sulaiman Ar-Ruhaili hafidzahullahu *

Ada masalah besar yang sering diperbincangkan oleh orang-orang, yaitu apakah diberi udzur orang yang berbuat kekafiran dalam keadaan jahil? Kejahilan artinya tidak adanya ilmu.

Aku katakan: ulama telah bersepakat bahwa barangsiapa yang benar-benar terbukti tidak tahu (alias jahil) dan ketidak tahuannya itu bukan sekedar pengakuan belaka dan bukan karena dia berpaling (setelah tegaknya ilmu) maka dia diberi udzur serta tidak dikafirkan. Tidak ada khilaf/perselisihan diantara para ulama tentang masalah ini. Allah berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولاً۬

Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra’ : 15) Tidak ada adzab dan siksa kecuali setelah tegaknya ilmu. Jika dia tidak mengetahui dan ketidak tahuannya tersebut bukan karena berpaling maka dia tidak diadzab dan tidak disiksa.

Aku katakan: ini adalah kesepakatan para ulama, bahkan mereka yang ekstrim dalam masalah udzur karena kejahilan memberikan udzur pada beberapa keadaan. Semisal orang yang hidup di daerah terpencil yang jauh dari ilmu atau dia baru masuk Islam, lalu dia melakukan salah satu pembatal keislaman, maka dia diberi udzur akan kejahilannnya. Kenapa demikian? Apakah karena dia hidup ditempat terpencil? Jawabannya bukan itu. Apakah karena dia baru masuk Islam? Jawabannya bukan itu. Akan tetapi karena dia benar-benar terbukti jahil, bukan sekedar pengakuannya. Oleh karenanya kami katakan: Sesungguhnya khilaf dalam masalah ini ada pada terbukti/terlihatnya kejahilan itu dan bukan pada dzat kejahilan itu sendiri. Maka kapan saja terbukti kejahilan itu dan itu bukan karena dia berpaling (setelah tegaknya hujjah) maka para ulama sepakat bahwa kejahilan itu adalah udzur (dalam vonis kafir seorang muslim yang jatuh ke dalam kekafiran, baik berupa ucapan maupun perbuatan).

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu memiliki banyak ucapan tentang masalah udzur karena kejahilan. Dan bahkan bisa dijadikan kajian khusus dengan tema udzur karena kejahilan menurut Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab. Beliau memiliki ucapan yang sangat gamblang dan jelas tentang adanya udzur karena kejahilan. Adapun kalau ada ucapan beliau yang seolah-olah mengarah kepada tidak ada udzur dalam kejahilan maka itu maksudnya kembali kepada masalah, apakah terbukti adanya kejahilan tersebut dan bukan masalah kejahilan itu sendiri. Orang yang meneliti dalil-dalil dan ucapan para ulama maka dia mengetahui, bahwa tidaklah seorang itu kafir hingga sampai kepadanya hujjah risalah yang dia bisa memahaminya dan hilang darinya syubhat. Maka harus ditegakkannya hujjah ilmu dan keterangan, bukan hujjah ketundukan yang memang harus didasari oleh hujjah ilmu dan keterangan. Yang dalam hal ini diistilahkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan ungkapan yang kuat dan kokoh: Hujjah Risaliyah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang  harus dia pahami.

Seandainya dibacakan Al-Qur’an kepada seseorang yang bukan orang Arab dan dia tidak paham bahasa Arab, maka belum tegak hujjah risalah kepadanya. Bahkan aku katakan: Seandainya dibacakan Al-Qur’an kepada orang Arab dan dia tidak paham makna ayat-ayat Al-Qur’an tersebut maka belum tegak hujjah yang diharapkan dia bisa memahaminya dan hilang syubhat darinya.

Permasalahan di dalam udzur karena kejahilan itu ada dua macam: masalah yang terang benderang yang tidak tergambarkan kejahilan tentangnya atau sangat jauh ketidak tahuan manusia tentangnya, seperti masalah mencaci maki Allah dan menyembah orang-orang yang telah mati. Masalah seperti ini secara asal tidak ada kejahilan di dalamnya. Jika ada yang mengaku-ngaku dia jahil dalam masalah tersebut dan maka kita teliti terlebih dahulu tentang keadaannya dan kita tidak bisa langsung menerima pengakuannya tersebut. Jika terbukti bahwa dia benar-benar jahil, maka kita beri udzur kepadanya. Contoh dalam masalah ini: ada sebagian dari kaum muslimin yang mereka menyembah orang-orang (wali, nabi) yang telah mati dan berdoa kepada selain Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui (itu syirik).  Bahkan mereka menganggap itu merupakan bagian dari ajaran agama Islam dan mereka tidak tahu bahwa perbuatan mereka tersebut adalah syirik. Bahkan ulama mereka mengajarkan kepada mereka bahwa barangsiapa yang tidak meyakini perbuatan mereka tersebut (menyembah wali/nabi yang telah mati) dan tidak mengamalkan hal tersebut maka orang itu termasuk yang paling kafir di atas muka bumi ini.

Sungguh aku telah menyebutkan berulang-ulang bahwa aku pernah bertemu dengan seorang sopir di suatu negara dan dia bercerita: Wahai Syaikh (Sulaiman), bertahun-tahun aku menyembah para wali dan berdoa kepada selain Allah. Sebenarnya akalku tidak nyaman dengan hal ini, akan tetapi para syaikh (guru/tokoh agama) mengatakan: inilah ajaran Islam. Maka aku pun memaksa diriku untuk mempercayai ucapan mereka. Hingga datang kepada kami ilmu dari para mahasiswa Universitas Islam Madinah yang mengajari kami tauhid.  Maka aku pun berlepas diri dari kesyirikan dan dari orang-orang yang berbuat kesyirikan.

Orang ini dahulunya jahil, maka tidak diragukan lagi bahwa orang yang semisal ini diberi udzur. Demikian pula dengan orang yang kita ketahui akan keadaan masyarakat di suatu negeri yang tidak paham tauhid dan syirik.  Jika ada dari mereka yang mengaku tidak tahu dan dia jujur dalam pengakuannya maka kita beri udzur. Adapun pengakuan semata (tanpa bukti yang nyata) di dalam masalah yang sangat terang bendarang ini maka tidak bisa diterima, karena hukum asal dalam masalah ini adalah tidak ada kejahilan di dalamnya.

Adapun dalam masalah yang memang tersembunyi, maka secara asal ada kejahilan di dalamnya. Barangsiapa yang mengaku tidak tahu, maka kita mempercayainya dan kita mengajarinya serta menjelaskannya. Pembagian masalah menjadi dua yaitu masalah yang terang benderang dan masalah yang tersembunyi, ini berbeda-beda antara satu negeri dengan negeri yang lain. Bisa jadi masalah itu terang benderang di negeri kita namun tersembunyi di negeri yang lain. Maka wajib bagi para penuntut ilmu ketika menghukumi suatu permasalahan untuk memahami akan hal ini. Aku katakan: Selayaknya bagi para penuntut ilmu agama untuk memahami berbagai permasalahan ini dan agar tidak menyamakan antara satu negeri dengan negeri yang lain.

[*] Diterjemahkan dari ceramah beliau di telegram Fawaaid Syaikh DR.Sulaiman Ar-Ruhaili tanggal 26 Maret 2018 dengan judul Mas-alah udzur bi al-jahli

Comments

Popular Posts